Lingkungan dan Masyarakat Industri


Oleh : Syamsuddin Nur Majid*

Pepatah kuno mengatakan bahwa alam ini dengan sendirinya mampu menyeimbangkan keadaan lewat kejadian bencana alam. Apabila manusia dan alam tidak lagi bersahabat, konsekuensinya alam akan berkehendak dengan sendirinya.
            Laju pertumbuhan ekonomi dan program pembangunan dalam bidang infrastruktur yang pesat, menuntun kita pada perubahan paradigma dan etika lingkungan. Paradigma seperti yang diatakan Harvey and Holly (1981) dalam The Structure of Scientific Revolution (1970) yang mengartikan paradigma sebagai “keseluruhan kumpulan (konstelasi) kepercayaan, nilai, dan cara mempelajari, menjelaskan apa yang di anut oleh warga suatu komunitas tertentu. Sementara etika adalah bentuk aktualisasi kita dalam menjaga alam.
Budayawan Emha Ainun Najib mengatakan bahwa manusia abad ini telah diatur oleh sistem diluar dari dirinya. Manusia digambarkan kerangka yang mempunyai tugas masing-masing. Tubunya adalah individulaisme, otaknya adalah materialisme, tanganya adalah kapitalisme, dan kakinya adalah industrialisme. Kemudian, hal tersebutlah akan berdampak pada pergeseran paradigma dan etika terhadap lingkungan dalam tatanan masyarakat modern ini.
Berbincang soal lingkungan tidak lepas dari konteks Antrhoposentrisme (manusia sebagai pusat peradaban) yang memandang bahwa semua yang berkehendak adalah manusia, semua aturan ditangan mansia. Dalam pandangan ini, lingkungan hanya dipahami sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Bahwa manusia dan alam adalah dua komponen yang saling terpisah dan menempatkan manusia setingkat lebih tinggi. Tidak hanya itu,  dalam pandagan ini yang dibicarakan masuk ranah ekonomi yaitu prihal untung-rugi. Maka yang terjadi adalah eksploitasi dan pemanfaatan sumber daya alam secara besar-besaran dalam rangka memenuhi hajat hidup manusia. Jelas, segala macam pencemaran lingkungan akan timbul sebab perlakuan manusia terhadap alam.
Teringat sang martir, pejuang dan aktivis lingkungan dari negeri “samba” brazil chico mendes dalam film “The Burning Seasion”. Beliau mempertahankan daerahnya yang berada sepanjang hutan amazonia amerika selatan melawan industri peternakan “Bordon”. Perusahaan tersebut mengeksploitasi lahan hutan dengan jalan yang tidak wajar, dengan membakar lahan hutan yang begitu luas. Akhirnya, bencana asap melanda setiap tahun. Mendes, memulai perjuanganya dengan mengorganisir organisasi buruh “Sindocato” dalam perusahaan tersebut dalam rangka menghimpun para buruh yang bekerja.
Ada hal menarik dari mendes, beliau  memperjuangkan hak tanahnya melalui jalur kemanusiaan. Mendes mengutuk keras perjuangan melalui pertumpahan darah. Alasan mengapa Mendes memperjuangkan haknya karena dia melihat ada hal yang menyimpang dari paradigma masyarakat industri yang “beringas” terhadap alam. Konskuensinya jelas, untuk memenuhi roda industri alam pun jadi sasaran eksploitasi. Oleh sebab itulah persepi masyarakat industri mulai menggesser paradigma dan etika lingkungan.
Masyarakat Industri
            Masyarakat adalah sebuah tatanan yang diikat oleh sistem sehingga membentuk sebuah kebudayaan. Dalam bahasanya Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan sebuah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat. Masyarakat industri punya kaitan dengan sejarah revolusi industri yang mencuat era abad 19-an. Perubahan paradigma dan etika terkait lingkungan mulai tergeser dengan berkembangnya paham positivisme yang menganggap bahwa apa yang kita lihat tidak ada kaitanya dengan faktor disekilingnya. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat industri memandang alam sebagai sumber komersil dan alat kebutuhn manusia.
            Seperti yang dikatakan tokoh sosiologi prancis terkenal Emile Durkheim, yang meramalkan bahwa masyarakat selanjutnya (Abad-21 keatas) akan individualis, dan acuh terhadap lingkungan. Dalam jurnalnya berjudul yang terkenal “L’anee Sosiologique” memeparkan teori-teori yang dicetuskanya. Seperti dalam ciri khusus masyarakat industri, sumber pencaharian sudah bergerak dalam sektor produksi industri. Sehingga pabrik-pabrik tersebut akan mennjadi alat baru sebagai sumber mata pencahrian. Sehingga meninggalkan wilayah agraria yang dulu menjadi sumber pencaharian.
Kesepakatan Bersama
            Semakin menjamurnya industri, tingkat pencemaran lingkungan juga tinggi. Biasanya terjadi dikawasan kompleks industri yang dpandang sebagai lingkungan kumuh. Faktor yang menyebabkan hal tersebut salah satunya limbah hasil pabrik tidak dikelola dengan baik. Sehingga pencemaran air biasanaya banyak yang terkontaminasi. Selain itu, faktor masyarakat yang tidak peduli terhadap lingkungan juga menjadi faktor intern tersendiri.
            Langkah yang seharusnya diambil adalah memrukan sebuah kesepakatan bersama antar pihak pabrik dan masyarakat (Kepala desa) sebagai penyalur penyalur aspirasi masyarkat. Pertama indutstri harus melakukan sosialisai dan penyuluhan kepada masyarakat terkait pentingnya menjaga lingkungan seitar. Aliran pembuanngan limbah harus diatur sehingga wilayah seitar industri tidak ada yag tercemar. Kedua masyarakat harus pro-aktif dalam menjaga lingkungan disekitarnya. Merubah paradigma dan etika yang sudah melekat dalam dirinya bahwa lingkungan adalah patner dalam berlangsungnya kehidupan. Maka, saling menjaga dan merawat lingkungan hal yang ajib dilaksanakan. Hubungan yang harmonis antara masyarakat dan industri tersebut bisa meminimalisir terjadinya pencemaran ligkungan juga membentuk masyrakat yang sadar lingkungan.

*Koordinator Departemen Kajian dan Penalaran HMJ Biologi  
Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.

   
   

           
             

Komentar

Postingan Populer