EKUILIBERUM LINGKUNGAN ; PEMIKIRAN TENTANG RELASI MANUSIA DAN ALAM
LATAR BELAKANG
Isu lingkungan abad XXI menjadi
perbincangan serius kalangan akademisi dan ilmuan seluruh dunia. Diskusi dan
konsorsium telah banyak terselenggara. Poin-poin pembahasan telah tertulis dan
disepakati. Namun, hal tersebut belum mampu menjawab tantangan dan krisis
lingkungan yang terjadi di seluruh belahan dunia.
Berawal dari pecahnya revolusi
industri abad 18 M menandakan awal krisis lingkungan itu terjadi. Sehingga
kehidupan manusia di dunia mulai goncang dan tak seimbang (Disekuiliberum) antara manusia dan alam. Keangkuhan manusia
menjadi sebab kehancuran dunia. Pendekatan etis manusia tidak mampu memberikan
solusi konkret dalam permasalahan ini. Perlu adanya pendekatan radikalisasi
problem krisis lingkungan (Saras,2015)
Berbagai jalan telah dilakukan guna
memahami kondisi alam yang memburuk dan kerusakan yang berkepanjangan. Masalah
utama yang dihadapi adalah pandangan antroposentrik manusia, yang berpandangan
bahwa pusat seluruh kehidupan da;ah manusia. Manusia berasumsi telah
menaklukkan alam. Manusia melalui keunggulanya dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi menunjukkan bahwa dirinya telah melampaui era mistis dan mencapai
logos. (Saras, 2015).
Developmentalisme/asa pembangunan
yang berkembang saat ini diyakini atau tidak tekah memberangus hak hidup
masyarakat. Pemenuhan kebutuhan hidup yang instan dan sekali buang menuntut
daya produksi semakin cepat namun limbah dan penanganan limbah tidak
dipikirkan.
Kebijakan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup juga menjadi masalah internal suatu Negara dalamm
mengatasi krisis lingkungan. Akar konflik kebijakan di Negara kita adalah
permasalahan peanfaatan sumberdaya alam. Konflik yang dilandasi oleh masalah
sumber daya alam terjadi sejak perencanaan dan pengesahan aturan perundangan –
Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, UU
No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, UU No 18 tahun 2004 tentang perkebunan, UU
No 41 tahun 2004 tentang perikanan, UU No 27 tahun 2007 tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Serta UU No 41 tahun 2009 tentang
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan-serta pelaksanaanya
dilapangan oleh berbagai sector (Hariadi,2017)
Peran akademisi menjadi titik tumpu
keadaan dunia saat ini. Bahkan, peran serta tokoh agama harus mampu mengatasi
krisis lingkungan. Seperti dilansir oleh BBC yang memberitakan forum
“Interfaith Rainforest Initiative” yang terselenggara di Oslo, Norwegia,
19/06/17. Pendekatan moral dalam dakwah pemimpin agama tersebut harapanya
membantu usaha mengatasi masalah lingkungan. Sehingga relasi antara manusia dan
lam semakin harmoni untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis
inginn berupaya sedikit menjawab permasalahan yang terjadi tentang bagaimana
menyambung kembali hubungan antara manusia dan alam dengan berbagai pendekatan
dan pesan moral.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
Disekuiliberum relasi manusia dan alam ?
2. Bagaimana
Mengurai Disekuiliberum relasi manusia dan alam ?
3. Bagaimana
Integrasi nilai islam dan keseimbangan lingkungan ?
PEMBAHASAN
1.
Disekuiliberum
Relasi Manusia dan Alam
Kerusakan
lingkungan yang terjadi adalah sebuah proses yang saling berkaitan dalam roda
kehidupan. Krisis lingkungan menjadi Bom waktu yang sangat menakutkan apabila
kita sebagai manusia tidak berbenah. Berbenah dalam berpikir dan berperilaku
menjaga lingkungan adalah hal kecil yang sering dilupakan namun manfaatnya
sangat besar.
A. Diskursus
Ekuiliberum
Ekuiliberum
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan mantap karena
kekuatan-kekuatan yang berlawanan, setimbang, atau sepadan, kesetimbangan
(KBBI). Kemudian, Disekuiliberum adalah keadaan yang tidak setimbang, atau
terjadi anomaly. Istilah disekuiliberum muncul dalam teori etika lingkungan,
khususnya Ekologi-Dalam oleh James Lovelock dalam konsep Hipotetik Homeostasis (Saras,
2015). Lovelock beranggapan bahwa bumi memiliki kemampuan menyeimbangkan diri
jika terjadi ketimpangan.
Di
balik krisis lingkkungan adalah krisis cara berpikir dan cara bertindak. Jauh
didalam noda hitam krisis lingkungan bukan hanya korban-korban di lapangan
akibat ketidakadilan pemanfaatan sumberdaya alam namun juga proses pendidikan
dan doktrin kita yang menyampingkan lingkungan (Hariadi, 2017). Semakin tinggi
suatu manfaat (benefit) atau penghasilan (income) dari eksploitasi alam,
semakin bias dan tenggelam korban akibat kerusakan lingkungan.
Pandangan
diatas kemudian diartikan oleh Aldo Leopold pada tahun 1949 dalam “our relationship to the environment
Leopold” bahwa alam ini memiliki
nilai intrinsik, ia lebih dari hanya sekedar relevan dengan kegunaanya bagi
manusia.. Tidak hanya itu, mamandang alam sebagai property menjadi penyebab
manusia tidak ada ikatan dengan alam. Kebanyakan manusia beranggapan homo sapiens merupakan penguasa yang
mendominasi alam. Leopold membantah itu dan berpendapat bahwa homo sapiens hanyalah “Biotoc citizen” atau bagian kecil dari organisme kolektif di
alam raya. (Saras, 2015)
B. Developmentalisme
Brutal
Pemikiran
developmentalisme mengupayakan pembangunan Negara ketiga melalui pertumbuhan
ekonomi modern atau kata lain dengan akumulasi primitif. Sejak berakhirnya
perang dingin memberikan angina segar pada ideologi ekonomi kapilistik. Seluruh
kehidupan dihadapkan pada ekspansi modal yang menimbulkan pelbagai konflik dan
krisis sosial-ekologis (Dian, dkk : 2014 : 68). Cara kerja kolonialisme adalah
cara kerja ekspansi modal, yang artinya merampas dan menguasai tanah rakyat, memproduksi
komoditas untuk keperluan ekspor, hingga mengeksploitasi dan memeras keringat
dan tenaga rakyat untuk memastikan keuntungan tetap terjaga.
Dalih
pembangunan yang meninggalkan aspek sosial umumnya berbentuk korporasi industry
ekstraktif seperti pertambangan. Ekslpoitasi lingkungan dilakukan oleh industri
ekstraktif hanya berpihan pada keuntungan ekonomi dan dihargai uang semata.
Sementara faktor keberlanjutan ekosistem lingkungan diabaikan. Perlahan namun
pasti, jasa lingkungan “dibunuh” oleh alat berupa cara berpikir dan cara
bertindak mainstream ekonomi-politik yang hidup sebagai parasit
dalam ekosistem pembangunan (Hariadi, 2017).
Sebagai
contoh ketidakadilan sosial-sekologis yang terjadi di Indonesia adalah
perampasan tanah dan krisis di tanah Malind Papua. Lagi-lagi Negara menjadi
alat perampasan tanah jitu bagi masyarakatnya. Melalui program Merauke
Integrated Food and Energy estate (MIFFE) rakyat papua harus mengalami
perampasan tanah bahkan “Beras-isasi” (dipaksa makan beras), suatu keadaan
masyarakat tercerabut dari lokalitas suatu wilayah. MIFFE lahir ditenmgah
situasi global krisis pangan, termasuk energi, di tahun 2007/08. Pada tahun
2010, keluarlah analisis oleh tim BKPRN (Badan Kordinasi Penataan Ruang
Nasional) yang menentukan berapa luasan tanah yang efektif untuk MIFFE. Luas
lahan cadangan yang efektif untuk lumbung pangan dan energi seluas 1,283 ha.
Dari tanah tersebut MIFFE akan memasok 1,95 juta ton padi, 2,01 juta ton
jagung, 167 ribu ton kedelai, 64 ribu ekor sapi ternak, 2,5 juta ton gula, dan
937 ribu ton CPO/minyak mentah pertahun, hingga tahun 2020 (Dian, dkk :2014 :
73).
Pelonjakan
harga komoditas pangan melahirkan ketakutan luar biasa pada pasar
internasional. Sehingga harus ada solusi yaitu gerak laju lapar tanah seperti
yang ditulis oleh De Schutter (2011)
seorang ahli ekonomi dan hak asasi manusia memaparkan bahwa antara 1 oktober
2008 hingga agustus 2009, minat Negara investor terhadap tanah di dunia mecapai
43 juta hektar (Dian, dkk : 2014 : 71).
C. Daya Dukung
dan Daya Tampung Lingkungan Hidup
Pengertian
Daya Dukung (DD) lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung peri kehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan diantara
keduanya. Sedangkan Daya Tampung (DT) kingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup menyerap zat, energi, dan atau komponen lain (Hariadi, 2017).
Ada tiga indicator dalam menentukan DD dan DT
yaitu :
1. Kondisi
Fisik-Ekologi
2. Sosial-Demografi
3. Ekonomi-Politik
Dari
ketiga aspek tersebut harus dikontrol terus menerus. Tujuanya adalah daya
dukung dan daya tampung alam selalu seimbang dan harmonis.
2.
Mengurai
Disekuiliberum relasi manusia dan alam
A.
Membentuk Metode Baru
Menyoroti
persioalan relasi alam dan manusia dengan metode yang lebih akurat perlu
dilakukan. Menindak lanjuti hal tersebut, pembangunan argumentasi serta
penyelidikan terhadap problem ontologis perlu digalakkan. Metode baru tersebut
adalah fenomenologi-lingkungan. Khususnya metode Heideggerian. Filsuf yang
menandakan dunia postmodernisme. Postmodernisme adalah gerakan abad akhir ke-20
dalam seni, arsitektur dll (Wikipedia). Lebih menekankan pada nilai intrinsik
dan estetika. Martin Heidegger nama aslinya, filsuf asal jerman, pernah
menempuh di Universitas Freiburg dan sekaligus penggagas fenomenologi.
Pertama
yang ditegaskan dalam fenomenologi adalah upaya memahami objek atau benda
dengan nilai kebendaan itu sendiri (Saras,2015). Metode ini bertujuan merangkul
entitas (satuan yang berujud) sebagai petunjuk memahami alam sebagai fenomena
alam. Heidegger menekankan bahwa hal tersembunyi tentang subjek hanya dapat
diketahui melalui fenomenologi (Saras, 2015).
Sampai
pada kesimpulan bahwa perubahan etis dapat dilakukan dari hasil perenungan
ontologis (hakikat dari entitas), bukan saja karena paksaan, norma, atau
kebijakan Negara. Soslusi agas relasi manusia dan alam kembali seimbang dapat
ditempuh bila fondasi manusia menyadari keistimewaan bumi, dan dapat
bernilainya untuk dapat memiliki kehidupan di bumi.
B. Bergerak
untuk Environmentalisme
Bergerak
untuk environmentalisme adalah gerakan sosial yang luas mengenai masalah
kelestarian lingkungan (Wikipedia). Pada intinya, environmentalisme adalah
upaya untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dan alam. Banyak cara dalam
menjalankan gerakan ini. Salah satunya adalah “gaya hidup melambat”. Trend gaya
hidup melambat adalah gerakann melawan instan dan tergsa-gesa. Lebih memahami
prioritas, memaknai hidup mempunyai landasan bergerak. Alasan bergaya hidup
lambat lebih menekankan pada sisi kemanusiaan. Respon terhadap hidup atas
rutinitas cepat, kesibukan, dan hidup isntan.
Trend
gaya hidup ini menawarkan bahwa dalam kehidupan menekankan pada proses.
Contohnya adalah menerapkan konsep 3R (Reuse, Reduce, Recyle) dalam pengolahan
sampah dan limbah kita sendiri. Lama dan sulit memang, namun keberlasungan itu
secara tidak langsung mampu mengurangi determinasi energi dan mampu menciptakan
energy alternative (Tirto.id)
Ikut
kampanya dalam melestarikan lingkungan. Terjun dalam komunitas dan pegiat
lingkungan. Apapun latarbelakang akademik, profesi dan kesibukann, berusahalah
untuk mengampanyekan keadilan lingkungan. Bahkan, mampu ikut serta dalam
advokasi lingkungan.
Menerapkan
konsep “ekonomi biru” dalam konsumsi sehari-hari. Ekonomi biru adalah upaya
mengurangi ketergantungan barang kebutuhan dan mampu mencipta alterntive
kebutuhan sehari-hari. Suatu proses dimana semua bahan baku berikut proses
produksi dari alam semesta dan mengikuti cara kerja alam. Memberikan solusi
terbaik dengan cara mentransfer ekonomi dan mengasilkan komunitas untuk masa
depan yang akan datang dan berkelanjutan. Konsep ekonomi biru juga bisa
digunakan dalam penyelamatan ekosistem bumi. Penekananya bukan pada investasi
modal yang besar dan bersifat eksternal, namun bersifat local, sehingga manfaatnya
bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Tidak ada dominan siklus kapitalistik
dalam roda ekonomi. Intinya adalah berbasis masyarakat (ekonomibiru.com)
C. Perencanaan
Wilayah Berkelanjutan/Ekoregion.
Ekoregion,
yang dalam penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah Bioregion, muncul
sebagai bentuk kerangka pemikiran atau paradigm akibat lesuhnya
teori-pembangunan yang merugikan lingkungan. Pada intinya, paradigm
bioregion/ekoregion yanmg melihat pembangunan berjalan pada sekala region lebih
tertuju pada ruanng hidup dengan berbagai karakteristik yang ada didalamnya
(Hariadi, 2017)
Tabel
perbandingan bioregion/ekoregion dengan developmentalisme
Bioregionalisme
|
Developmentalisme
|
Wilayah
|
Negara
|
Komunitas
|
Bangsa
|
Konservasi
|
Eksploitasi
|
Stabilitas
|
Pertumbuhan
|
Kerja sama
|
Kompetisi
|
Desentralisasi
|
Sentralisasi
|
Komplemen
|
Herarki
|
Simbiosis
|
Polarisasi
|
Evolusi
|
Kekerasan
|
Keanekaragaman
|
Monokultur
|
Pengetahuan developmentalisme didasarkan pada
pengetahuan saint-teknologi seharusnya berjalan dengan pengetahuan local dan
pengetahuan mengenai ruang hidup. Pertumbuhan ekonomi akn sangat berguna bila
sejalann dengan tujuan konservasi serta keadilan sosial. Begitu pula teknologi
itu sendiri, harus melihat sisi kemanusiaan didalamnya.
Hariadi merinci ada enam pokok pemikiran
ekoregionalisme yaitu :
1. Menyadari
bahwa masyarakat merupakan bagian dari sistem ekologi dan keduanya tak bisa
dipelakukann secara terpisah.
2. Menyadari
bahwa sistem yang kompleks seperti ekoregion lebih dari sekedar penjumlahan
untug-rugi, dan harus diperhatikan secara keseluruhan.
3. Menyadari
bahwa hubungan sebab akibat secara sederhana tidak cukup untuk memahammi
kompleksitas ekoregion karena banyak eksternal dan internal yang
mempengaruhinya.
4. Memahami
perubahan ekosistem local serta global merupakan hal normal, meski kerusakan
saat ini lebih banyak disebabkan oleh ulah manusia.
5. Menyadari
bahwa adanya nilai-nilai komunitas dengan budayanya dalam lanskap yang
mempunyai peran penting dalam pengelolaan konservasi dan restorasi.
6. Menyadari
bahwa ekoregion bukan objek, melainkan entitas yang berkembang sendiri dengan
proses yang ada didalamnya sebagai wilayah kesadaran masyarakat.
3.
Integrasi
Nilai Islam dan Keseimbangan Lingkungan
Dibawah
ini beberapa ayat al-quran yang menjelaskan nilai islam dan keseimbangan
lingkungan :
Q.S Ar-Ruum
41
Ayat diatas menunjukkan kelemahan pandangan
antroposentisme, yang menyatakan bahwa manusia sebagai pusat sistem yang ada di
bumi. Tapi, dengan keunggulan manusia menjadi serakah dan kerusakan alam ini
adalah suatu bentuk konsekuensi logis dari semua.
Q.S Al-isra 44 dan Q.S Az Zukhruf 10
Ayat diatas menunjukkan pada sebuah entitas
yang dianggap manusia sebagai properti, seperti batu, tanaman, tanah dll mereka
pun menyembah kepada Allah. Jadi ada unsur intrinsic dalam sebuah entitas.
Q.S Al A’raf
56-58
Ayat diatas menunjukkan ekofenomenologi.
Bahwa seluruh kehidupan ini digerakkan oleh tuhan semesta alam. Sebagai
pelajran yang dapat kita ambil ibrahnya. Serta untuk membuka mata kita bahwa
sebagai makhluk tuhan selayaknya kita hidup dalam keharmonisan.
SIMPULAN
Berdasarkann penjelasan diatas,
bahwa alam raya ini perlu diperlakukan secara seimbang. Krisis lingkungan sudah
nyata terjadi saat ini. Perlu tindakan dan hal yang harus kita perbuat untuk
tetap menjaga kelstarian lingkungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Dewi, Saras.
2015. Ekofenomenologi; mengurai
Disekuiliberum relasi manusia dengan alam. Tangerang : Marjin Kiri.
Dian Yunardi dkk.
2014. MP3EI : Master Plan Percepatan dan
Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia. Yogyakarta : Tanah Air Beta.
Kartodiharjo,
Hariadi. 2017. Dibalik Krisis Ekosistem
Pemikiran tentang Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Jakarta : LP3ES.
Komentar
Posting Komentar