Syahrir dan Jiwa Diplomatis
“Dan
hanya semangat kebangsaan, yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusian,
yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia” Sutan Syahrir
“Bung
Kecil” adalah sapaan lain dari tokoh satu ini. Jiwa anti-fasisnya menancap kuat tak bisa dihantam oleh siapapun. Demi mempertahankan
idealisme-nya, dia tak segan-segan “menyemprot” kawan seperjuangan golongan muda yang tak
sepandang. Pun dengan sang proklamator, Sukarno-Hatta.
Sedikit sejarah mengenai Syahrir, ia dikenal
sebagai salah satu dari tiga serangkai pejuang kemerdekaan, yang sangat
menentang rumusan Bung karno dalam memperjuangkan kemerdekaan. Keinginan kuat
untuk tidak bergantung pada jepang yang saat itu menjajikan kemerdekaan, di
kritik pedas oleh syahrir. Dia meyakini bahwa Jepang tidak akan bertahan lama
di Indonesia. Karena Jepang lebih dulu di hancurkan sekutu dalam perang asia
pasifik. Maka, dengan kata lain Indonesia harus merdeka seratus persen.
Pria kelahiran Padang Panjang 5 maret 1909 sejak lama
mendalami pemikiran Sosial-demokratik. Gagasanya ditelurkan saat menjadi
Perdana Menteri (PM) pertama pada 14 November 1945 yang disahkan oleh Komite
Nisional Indonesia Pusat (KNIP). Di titik itulah Syahrir menerapkan politik
Diplomasi. Kemudian, pemikiran itu berbeda pandangan dengan lawan politiknya
yang tergabung dalam “Persatuan Perjuangan” Tan malaka dan kelompok bawah tanah
lainya.
Politik Diplomasi Syahrir
Kepiwaian
Syahrir dalam diplomasi menonjol saat terjadi ketegangan kembali antara
Belanda-Indonesia setelah kemerdekaan. Perjanjian linggarjati November 1946 menjadi
panggung skenario politik diplomasinya. Sejak Oktober 1945-November 1948 dia
bermitra dengan Gubernur Jendral Hindia Belanda Dr. Hj Van Mook. Sehingga
tercapailah perjanjian linggarjati itu.
Terbentuknya negara Republik
Indonesia Serikat (RIS) dan pengakuan secara de facto atas Jawa, menjadi kepekatan bersama antar kedua negara.
Namun, Lincahnya Syahrir adalah
mengganti redaksi salah satu pasal yang berbunyi, “Replubik Indonesia Serikat
adalah negara merdeka” ditolak secara tegas oleh syahrir. Pasal kemudian
diganti redaksi “Republik Indonesia Serikat adalah negara berdaulat”. Dari
langkah itulah dia akhirnya menggugat ke Dewan PBB sebagai bentuk pengkhianatan
Belanda atas agersi militer yang belanda lakukan.
Sebagai penganut Sosial-demokratik,
dia menolak tegas pertumpahan darah. Lebih mengedepankan jalur damai disertai pemufakatan
bersama dalam pengambilan keputusan. Pemikiranya yang diplomatis tersebut masih
bisa diterapkan. Pertama diplomasi
diartikan sebagai arah perjuangan dalam menciptakan kemaslahatan bersama. Hal
ini penting karena, banyak yang mengartikan diplomasi sebagai “jalan emas”
menuju kesepakatan. Rawan terjadi manipulasi dan penyelewengan arah perjuangan.
Kedua tetap berpihak pada rakyat.
Itulah yang diperjuangkan syahrir tentang konsep Sosialisme kerakyatan.
Sosialisme yang mengedepankan kemanusiaan lewat jalur perdamaian.
Sebagai kesimpulanya adalah, syahrir
menelurkan konsep diplomasinya bukan serta merta untuk kepentingan kelompok.
Dia menawarkan konsep yang humanis dan prosedural dalam pengambilan keputusn.
Namun, kehalusan perjuangan tersebut tidak dimaknai sebagai formulator saja.
Melainkan arbitrase yang merangkul kepentingan rakyat, yaitu diplomasi perjuangan.
@syamsuddinnm on tweet.
Majidd
on Facebook.
Komentar
Posting Komentar