Catatan Rehat; Obsesi Menjadi Wartawan


Foto di depan kantor redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung-2016

***

"Mundur satu langkah untuk meloncat seribu langkah," tulis Jenderal Sun Tzu dalam buku The Art of War. Quote panglima ahli strategi itu mungkin bisa jadi panutan, bahkan renungan untuk kita. Pun bagi saya. Setidaknya, penggalan nasihat itu telah mengilhami keputusan konyol. Keputusan untuk memilih tidak melakukan apa-apa, tidak berguna. 

Bagi saya, ini bentuk peyegaran tubuh, baik secara fisik maupun psikis. Tubuh perlu rehat sejenak untuk memompa tenaga. Ibarat sebuah truk, ia perlu mendinginkan mesin agar kuat melintas tanjakan Sitinjau Lauik atau besiap meliak-liuk di Kelok Sembilan.

Laiknya sebuah mesin, tubuh manusia juga akan aus termakan usia. Ngos-ngosan jika terus dipaksa bekerja. Toh, hasilnya nggak seberapa. Untuk itu, apa salahnya jika memilih menganggurkan diri (sejenak) seraya merangkai rencana ke depan.

Saya yakin betul, setiap orang mengalami masa kekosongan seperti yang saya alami. hanya saja, waktu dan sebabnya yang berbeda. Sebab itulah, dihadapan permirsa sekalian, catatan rehat ini dibuat.  

Wartawan Noob

Sebetulnya, sebelum menganggurkan diri, saya sudah mendapat pekerjaan sebagai "kuli tinta" di salah satu media lokal di Kota Semarang. Pekerjaan itu telah saya lalui lebih-kurang satu tahun. 

Melakoni pekerjaan sebagai pelayan publik; menyajikan informasi yang aktual, tajam, dan terpercaya--menjadi tantangan tersendiri. Menguasai isu terkini; baik lokal Semarang, Jawa Tengah, bahkan Nasional adalah makanan setiap hari. 

Apalagi, jika ada peristiwa/kejadian besar, kita dituntut harus segera, secepat, kalau bisa menjadi orang pertama di lokasi kejadian. Jangankan mandi pagi, gosok gigi pun terlewati.

Dalam kurun waktu sesingkat itu, saya gonta-ganti media sebelum benar-benar resign. Tercatat, sebanyak tiga media telah saya lalui--hampir saja yang ke empat, namun tidak jadi. Di perusahaan ke-tiga itulah menjadi tempat terakhir saya bekerja. Jika dirata - rata, saya pindah tempat kerja selama empat bulan sekali. Persis seperti anjuran minum obat; 3 x 1 (tahun).

Menjadi seorang jurnalis adalah pekerjaan idaman semasa kuliah. Dan Alhamdulillah, atas puji Tuhan, saya bisa meraihnya. Bahkan, setelah lulus, tanpa nganggur, langsung mendapat pekerjaan. 

Di sisi lain, teman-teman seangkatan--saat saya bahagia mendapat pekerjaan--mereka sudah memiliki tabungan, beli rumah, beli mobil, bahkan menikah. Ternyata, ketika saya baru memulai langkah, mereka sudah tancap gas. Badjingan!

***

Obsesi Menjadi Wartawan

Menjadi jurnalis amatiransebisa mungkin saya berpegang teguh pada kode etik jurnalistik. Berusaha menyajikan informasi yang berimbang, independen, berasas kebenaran, dan berpihak kepada masyarakat seperti tertuang di kitab suci Sembilan elemen jurnalisme. Meskipun begitu, ketika di lapangan, saya lebih banyak pusingnya ketimbang tenangnya. Sekali lagi, karena saya Noob.

Masih ingat betul, saya bekerja mulai Juni 2020. Awal yang berat bekerja sebagai jurnalis. Apalagi, saat itu masih terhitung awal Pandemi Covid 19. Pemerintah berlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tetapi apa boleh buat, pekerjaan ini harus saya lakoni meski penuh resiko tertular. 

Saat terjun ke lapangan-pun saya belum mahir menulis laporan. Struktur dan diksinya acakadut. Banyak koreksi karena tidak runtut dan bikin pusing. Alhasil, tulisan sering dikembalikan dan dijahit ulang.

Di saat itu pula, saya selalu terobsesi ingin meniru, atau menjadi seorang jurnalis kondang laiknya Dhandy Laksono, Farid Gaban, atau mereka yang berhasil merekam Indonesia. Atau menjadi seorang Udin yang dibunuh karena sebuah berita. Itulah puncak kenikmatan seorang jurnalis, mungkin saja salah. 

Soal penulisan, ingin sekali bisa menulis tegas seperti Tajuk-tajuk Mochtar Lubis--atau cacatan kritis Rosihan Anwar-- wawasan luas Gunawan Moehamad--kesaksian Rusdi Mathari--bahkan humor Mahbub Djuanidi. Mereka tampak piawai merangkai helai diksi. Membacanya seakan terbius.  

Obsesi itu juga datang melalui film, di antaranya dalam film 5 Day of War (2011). Dikisahkan, seoarang jurnalis perang Thomas Adress, tokoh di film itu, merekam konflik perang antara tentara Rusia dan Georgia pada 2008 silam. Mereka dengan heroik bisa mengabarkan peperangan yang terjadi ke dunia Interasional meskipun berdarah-darah. 

Atau menjadi seorang Chand Nawab, jurnalis yang berhasil menemani Pawan Kumar Chaturvedi (pemuda asal India) mambawa gadis kecil bernama Munni, mencari jalan pulang dari India ke Pakistan. Kita tahu bahwa konflik kedua negara itu seringkali panas-adem. Kisahnya ada di film Bajrangi Baijan (2015). 

Jika terpaksa tidak bisa meniru mereka, setidaknya saya ingin berkontribusi untuk masyarakat. Meliput pinggiran dengan semangat kemanusiaan seperti yang dilakukan Shindunata. Menyuarakan mereka yang terpinggirkan, termarginalkan, atau dibungkam oleh sistem. 

Namun, itu semua hanya sebatas keinginan. Mimpi kosong di siang bolong. Saya hanya bisa membayangkan belum bisa melakukan. Masih jauh panggang dari api--Belum bisa jadi diri sendiri sibuk menjadi orang lain. Atau karena terlalu sulit bagi saya meniru mereka. Sulit menjadikan "Jurnalisme sebagai agama" seperti Andreas Harsono bilang. Atau,...aaah sudahlah.

***

Bersambung.....


Komentar

Postingan Populer