Ini Cerita Petani Kita

 

Foto: Pinterest.com

“... Saya kaget, Mas, tiba-tiba telepon genggam saya berdering lebih dari tiga kali. Saya nggak menyangka telepon itu dari salah satu perusahaan (mercon tikus) yang mencoba meneror dan  membujuk kelompok tani kami supaya tidak meneruskan inisiatif penangkaran burung hantu di Desa ini. Tapi kami tak menggubris itu, dan kami tetap jalan saja,” ungkap Sukip, salah satu petani Desa Tlogoweru pada Kamis (5/9/2019).

***

Catatan ini berawal dari penelitian untuk tugas akhir saya dengan mengambil objek penelitian Burung Hantu di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak. Selain mengambil data terkait tugas akhir, saya bersama seorang kawan mulai menggali informasi tentang pertanian dan kondisi masyarakat setempat.

Sore itu, di sebuah gubuk—bangunan kecil yang letaknya di pinggir area persawahan, kami menikmati obrolan hangat bersama beberapa petani di Desa itu. Jamuan khas petani singkong goreng dibasuhi secangkir teh hangat dan tiga bungkus rokok menemani cerita-cerita kondisi kelompok tani dan perkembangan penangkaran Burung Hantu (Tyto alba) yang diinisiasi kelompok tani Desa itu.

Seperti biasa, jamuan dan sambutan hangat semacam itu sudah menjadi kultur kelompok tani untuk menemani setiap mahasiswa yang melakukan riset di Desa Tlogoweru. Jadi, saya bukan yang pertama mendapat perlakuan semacam itu. 

Desa itu setiap tahun pasti ada mahasiswa/wi atau peneliti yang melakukan riset. Riset yang dilakukan berkitan dengan kesuksesan kelompok tani “Telogo Kaweruh” dalam mengembangkan penangkaran Burung Hantu spesies Tyto alba atau serak Jawa yang persebarannya dapat dengan mudah ditemui di seluruh pulau Jawa. 

Burung hantu dalam beberapa penelitian memang sangat membantu petani dalam kegiatan pertanian. Burung tersebut bisa sebagai pemangsa alami tikus sawah atau pemangsa puncak dalam ekosistem persawahan.

***

Saya yang masih awam tentang  pengetahuan dalam bidang pertanian sungguh sangat terbantu dengan obrolan-obrolan bersama petani. Tentunya, sekelumit permasalahan pertanian yang dialami cukup memberikan pemahaman baru tentang permasalahan “teknis” maupun “kebijakan” yang dialami petani.

Obrolan semakin hangat ketika Sukip (54), salah seorang petani di Desa Tlogoweru menceritakan permasalahan teknis yaitu kegagalan panen yang sering melanda petani. Hama tikus kerap kali menyerang area persawahan. Hama tikus menjadi permaslahan setiap tahun saat panen raya tiba.

“Memang warga di sini dan sekitarnya musuh utamanya tikus sawah saat panen raya tiba,” ucapnya dalam obrolan.

Penelitian Eriandra (2015) menyebutkan presentase kerusakan akibat hama tikus terhadap padi siap panen mengakibatkan gagal panen di Tlogoweru mencapai lebih dari 50 persen.

Atas kondisi tersebut, masyarakat berupaya keras untuk mengatasi permasalahan teknis tersebut. Akhirnya, pada tahun 2011 masyarakat menginisiasi pengembangan Burung Hantu sebagai predator alami pemakan tikus sawah melaui Peraturan Desa (Perdes) Tlogoweru Nomor 4 tahun 2011 tentang Burung Predator Tikus.

Upaya pengembangan burung hantu itu berhasil dan sukses. Kelompok tani dan masyarakat sangat terbantu dengan burung hantu yang secara ekologis mempunyai manfaat penting dalam siklus rantai makanan dalam ekosistem persawahan. Alhasil, masyarakat mampu mengatasi permasalahan teknis tersebut.

Namun, upaya tersebut ternyata mengalami permasalahan yang lain. Saat awal-awal mengemebangkan penangkaran burung Hantu, banyak rintangan yang dihadapi. Salah satunya terkait “kebijakan” mulai dari kurang support-nya pemerintah, hingga ancaman dari perusahaan mercon tikus.

Saya kaget, Mas, tiba-tiba telepon genggam saya berdering lebih dari tiga kali. Saya nggak menyangka telepon itu dari salah satu perusahaan (mercon tikus) yang mencoba meneror dan  membujuk kelompok tani kami supaya tidak meneruskan inisiatif penangkaran burung hantu di Desa ini. Tapi kami tak menggubris itu, dan kami tetap jalan saja,” ungkap Sukip.

Dari sini saya tahu permasalahan yang sifanya “kebijakan” itu muncul. Ternyata, usut punya usut, perusahaan yang menel
epon Sukip adalah perusahaan obat pembasmi tikus.

“Bahkan sudah bekerjasama dengan Dinas untuk dijual kepada petani,” lanjutnya dengan nada sedikit tinggi.

Dalam percakapan via melalui telepon antara Sukip dan perusahaan itu, ternyata pihak perusahaan mengaku kekhawatiran apabila masyarakat membudidayakan burung hantu. Sukip juga menceritakan upaya intervensi yang dilakukan oleh perusahaan. Pasalnya, perusahaan menyatakan bisa rugi bahkan bangkrut apabila inisiatif masyarakat itu dilanjutkan dan dikembangkan di semua Desa.

***

Obrolan semakin hangat ketika menceritakan kondisi pertanian pada tahun 80-an yaitu masa Orde Baru. Permasalahan “kebijakan” saat itu dapat dikatakan menumpas kedaulatan petani. Diceritakannya, dulu masyarakat Desa Tlogoweru telah mengembangkan benih padi lokal secara berkelanjutan. Namun, tiba-tiba ada petugas penyuluh pertanian datang dan merampas bibit yang sudah dikembangkan. Skema yang dilakukan adalah merampas semua benih padi lokal. Padahal, benih yang dikembangkan masyarakat adalah benih jenis super.

Diambil semua, Mas, sak-karung-karunge, ada juga yang dibeli. Selain itu, saat petani sudah mulai musim panen, tiba-tiba tanaman siap panen itu rusak, bekasnya seperti dibabat orang,” jelas Sukip. 

Percakapan itu mengingatkan saya pada buku yang ditulis Hira Jhamtani (2008) berjudul Lumbung Pangan; Menata Ulang Kebijakan PanganBuku tersebut secara eksplisit menjelaskan tentang kebijakan yang mengabaikan sosial-ekonomi petani, salah satunya hak atas benih

Jhamtani menuliskan kasus yang dialami Tukirin, petani di Nganjuk, Jawa Timur yang dikriminalisasi atas gugatan PT Benih Inti Subur Intani (BISI) dengan dakwaan melakukan pembenihan ilegal. Kasus itu benar-benar menggambarkan bagaimana monopoli telah menunjukkan kekuasaannya atas lembaga peradilan dan menghilangkan hak petani atas penangkaran benih (Jhamtani, 2008: 53).

Dengan mencuatnya kasus Tukirin di Nganjuk dan upaya-upaya intimidasi petugas penyuluh pertanian seperti yang terjadi di Tlogoweru, menyebabkan petani akhirnya dibuat takut apabila melakukan kegiatan pengembangan benih secara mandiri.

Kondisi semacam itu nampaknya masih terus terjadi sampai sekarang. Hal itu menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan menyoal pertanian sungguh masih jauh dari harapan petani. Saat ini kita masih menunggu dan berharap kebijakan yang memihak kepada petani untuk mewujudkan kedaulatan petani.*

 

*Tulisan tersebut telah diedit ulang dan terbit di Kabarfrekuensi.com pada tanggal 02/3/2019 link https://www.kabarfrekuensi.com/2020/03/realitas-petani-sebuah-catatan-lapangan.html

 

Komentar

Postingan Populer