Pandemi Covid-19 di Tengah Ancaman Sektor Pertanian






***

Dunia saat ini sedang dilanda wabah virus corona atau Covid-19. Wabah ini mengakibatkan kejadian yang luar biasa sehingga menuntut manusia, sebagai inang yang diinfeksi oleh virus, harus  kelabakan mencari cara untuk bisa meredam persebaran virus. Bahkan, sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk menyembuhkan akibat infeksi Covid-19.

Sampai saat ini, trafik kasus positif infeksi Covid-19 belum menunjukkan angka aman dan masih terus bertambah. Kondisi ini diperparah dengan belum ada kejelasan berakhirnya infeksi virus ini.

World Health Organization (WHO) mengungkapakan bahwa masa berakhirnya pandemi covid-19 tergantung penanganan dan kebijakan setiap Negara. Dan di Indonesia, menurut Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di prediksi berakhir pada Juni 2020.  

Sektor ekonomi menjadi sektor yang paling parah terkena pandemi. Dampak yang paling dirasakan akibat macetnya distribusi barang kebutuhan pangan berada di wilayah perkotaan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pemasok bahan pangan ke wilayah perkotaan berasal dari desa.

Ketersediaan pangan yang menjadi kebutuhan dasar manusia sangat penting diperhatikan selama masa pendemi. Pangan menjadi sektor yang paling sensitif, dan akan menjadi pemicu gelombang protes apabila negara tidak mampu mengatasi ketersediaan pangan.

Menurut Lembaga Penelitian Pangan Internasional (IFPRI), pandemi Covid-19 akan menyebabkan kontraksi pertumbuhan global sebesar 5%, dan kelompok menengah kebawah atau Negara-negara yang berpengahasilan rendah, rentan terkena imbas karena faktor krisis pangan. 

Beras masih dijadikan ukuran ketersediaan pangan nasional, walaupun masih ada sumber karbohidrat alternatif jenis pangan lokal seperti ubi, jangung, dan sagu yang harusnya didorong untuk mengurangi ketergantungan pada beras.

Membincang masalah pangan (beras) berarti membincang masalah pertanian. Bagaimana kondisi pertanian kita wabah melanda?, dan bagaiaman ketersedian pangan secara nasional yang telah kita capai selama ini?.

 Diakui atau tidak, Indonesia merupakan salah satu negara yang masih bermasalah dengan ketahanan pangan. Hal ini bisa dilihat dari laporan Global Hunger Index (GHI) Indonesia tahun 2019 yang menyatakan bahwa Indonesia berada pada rangking 70 dari 117 negara kualifikasi. Indonesia mendapat skor 20.1 yang berarti masuk dalam kategori serius untuk ditangani.

Kondisi Pertanian Kita

Laporan yang ditulis oleh Wiradi dan Bachriadi (2011), dalam buku “Enam Dekade Ketimpangan” menyebutkan, hasil sensus pertanian (1963 hingga 2003) menunjukkan adanya peningkatan jumlah petani pemilik lahan tidak diimbangi peningkatan ketersediaan lahan. 

Sementara, rata-rata penguasaan lahan per-rumah tangga relatif tetap (sekitar 1 hektar). Maka hasilnya, terjadi peningkatan persentase petani kecil (atau rumah tangga pertanian yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar) dari sensus ke sensus.

Jika kita bandingkan dengan jumlah alokasi lahan untuk non-pertanian sangat jauh berbeda. 

Pertama, lahan untuk proyek kehutanan skala besar misalnya, menurut Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) telah mengeluarkan 567 unit konsesi yang seluruhnya menguasai sekitar 60,2 juta hektar wilayah hutan atau setiap unit rata-rata menguasi 107.000 hektar wilayah hutan Indonesia.

Kedua, lahan untuk proyek pertambangan skala besar, hingga tahun 1999, Departemen Pertambangan mengalokasikan sekitar 264,7 juta hektar lahan untuk 555 perusahaan pertambangan, baik perusahaan modal dalam negeri (swasta dan BUMN) dan perusahaan asing, Dengan kata lain, rata-rata setiap perusahaan menguasai sekitar 0,5 juta hektar tanah melalui izin konsesi pertambangan.

Ketiga, lahan untuk pembangunan perkebunan berskala besar, sektor ini menguasai tanah cukup besar berupa perkebunan skala besar yang beroperasi baik dengan Hak Guna Usaha (HGU) maupun tidak. Hingga tahun 2000, tercatat 2.178 perusahaan, baik swasta maupun perusahaan milik negara menguasai 3,52 juta hektar areal kebun. Artinya setiap perusahaan rata-rata menguasai sekitar 16.000 hektar lahan (Wiradi dan Bachriadi, 2011).

Keempat, lahan yang digunakan rumah tangga petani berdasarkan sensus pertanian tahun 1973, Kano, memperkirakan terdapat sekitar  21,6 juta rumah tangga petani  yang terdiri dari pemilik lahan dan buruh tani. Itu artinya, sekitar 84% dari total penduduk Indonesia terlibat dalam kegiatan ekonomi pertanian di atas tanah seluas 14,2 juta hektar. Sekitar 7,21 juta atau 33,4% dari jumlah rumah tangga petani tersebut diklasifkasikan sebagai tunakisma atau petani tak bertanah (landless) (Wiradi, 2011: 11)

Selain itu, kebijakan yang salah dari pemerintah turut menjadi persoalan sektor pertanian. Hira Jhamtani (2008) dalam bukunya “Lumbung Pangan; Menata Ulang Kebijakan Pangan” menyebutkan bahwa program Revolusi Hijau yang menjadi kebanggaan waktu itu akhirnya gagal.

Hal itu disebabkan akibat kebijakan yang lebih mengutamakan intensifikasi hasil pertanian melalui bibit unggul, pestisida, dan panen cepat. Namun tidak diimabangi memberi intensif kepada pelaku pertanian yaitu petani. Dengan kebijakan tersebut, petani diajak untuk bersaing dengan petani yang lain.  

Petani sulit untuk bergenerasi karena sektor pertanian dianggap tidak menjanjikan. Dan ini pula yang menyebabkan terjadinya gelombang proletarisasi akibat petani kecil tidak mampu mengikuti kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan akses lahan rumah tangga pertanian rata-rata kurang dari 1 Hektar (Wiradi, 2011).

Gelombang proletarisasi menyimpulkan bahwa, petani kecil dan tak bertanah berpeluang kecil untuk meningkatan pendapatan atau berinvestasi disektor non-pertanian. Meski penyebab proses tersebut masih diperdebatkan, namun peningkatan jumlah petani kecil dan pertumbuhan petani tak bertanah merupakan cerminan dari polarisasi penguasaan tanah dan proletarisasi di wilayah pedesaan di Indonesia sejak tahun 1963.

Solusi Alternatif

Malihat kondisi seperti itu, pemerintah harus sigap dalam menjaga ketersediaan pangan nasional. Langkah awal yang bisa dilakukan pemerintah adalah restrukturisasi lahan.

Cara yang ditempuh adalah dengan menentukan kembali, bahkan mengurangi alokasi lahan yang besar dari non-pertanian (perkebunan dan pertambangan) ke sektor pertanian (lahan garapan rumah tangga petani). Restrukturisasi lahan bisa dilakukan melalui skema Landreform (reforma agraria).

Hal itu mengacu pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mekanisme-nya diatur dalam UUPA 1960. Bila hal yang paling dasar ini dilakukan oleh pemerintah, maka ketahanan pangan akan terwujud.

Salain itu, intensifikasi dan subsidi kepada petani kecil untuk mengembangkan rumah tangga pertanian lebih giat dilakukan. Hal ini penting untuk menunjang pendapatan petani dan mengurangi proses proletariasasi berupa pelepasan lahan pertanian dan mengurangi angka Landlessness.

Pemerintah juga perlu mengurangi ketergantungan impor bahan pangan sekaligus menggenjot produksi hasil pangan dalam negeri. Hal ini dimungkinkan apabila iklim politik searah dengan tujuan mewujudkan ketahanan pangan. Juga, memperkuat dan memberi hak politik serikat-serikat tani untuk mengelola dan menggarap lahan pertanian mereka.  

Dengan demikian, banyak catatan yang harus dilakukan untuk menjawab persoalan pertanian di masa pandemi Covid-19, kuhusunya soal ketersediaan pangan. Langkah semacam ini harus terus diuoayakan untuk mewujudkan katahanan pangan dan menajaga eksistensi pertanian sebagai sektor yang menjanjikan.

Referensi

Aisyarah, dkk. 2018. Perempuan di Tanah Kemelut; Situasi Perempuan dalam Situs-situs Krisis Sosial Ekologis. Jakarta: Kompas.

Wiradi dan Bachriadi. 2011. Enam Dekade Ketimpanggan. Bandung; Kerjasama Agrarian Resource Center (ARC), Konsosrsium Pembaruan Agraria (KPA), Bina Desa

Wiradi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: STPN Press

Jhamtani, Hira. 2010. Lumbung Pangan. Yogyakarta: Insist Press


Tulisan di atas telah terbit di media online Ruang Ngeri.com

Komentar

Postingan Populer